Sunday, March 15, 2020

Relasi Hukum Islam dan Peraturan Perundangan Dalam Pariwisata Halal


RELASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANGAN
DALAM PARIWISATA HALAL
MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag 







Disusun oleh:
Ilham Muzaki
NIM: 17510024








UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Relasi Hukum Islam dan Peraturan Perundangan Dalam Pariwisata Halal”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag  Sebagai Dosen mata kuliah Etika Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.








Malang, 07 Oktober 2019



Penulis,
 
 DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI. ii
BAB I. 1
PENDAHULUAN.. 1
A.    Latar Belakang. 1
B.    Rumusan Masalah. 4
C.    Tujuan Masalah. 4
BAB II. 5
PEMBAHASAN.. 5
A.    Prespektif Hukum Islam (Fiqh) 5
1.    Hukum Islam: Gambaran Umum dan Ketentuan Hukum.. 6
2.    Tujuan Utama Hukum Islam (Peranan Syariah Islam) 9
3.    Ciri-Ciri / Karakteristik Hukum Islam.. 11
4.    Al-Ahkam Al-Khamsah: Posisi Hukum Wisata Halal 14
5.    Hukum Islam dan Perkembangan Kepariwisataan. 14
B.    Peraturan Perundangan. 17
1.    Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal 17
2.    Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 19
BAB III. 21
PENUTUP. 21
A.    Kesimpulan. 21
B.    Saran. 22
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Dewasa ini kita sedang dihadapkan pada kondisi masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan menghadapi tata hubungan antar bangsa yang semakin terbuka dan bebas. Hal ini mendorong perlunya perubahan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Di tingkat regional dan global, pembangunan pariwisata dihadapkan kepada tantangan yang berat, terutama bila dikaitkan dengan kompetisi yang semakin tajam. Era globalisasi telah membawa konsekuensi dan perubahan penting terhadap perkembangan industri pariwisata nasional, terutama pemanfaatan kemajuan teknologi dan perubahan pola tingkah laku wisatawan internasioanal. Persaingan antar tujuan wisata di tingkat regional dan internasional menjadi tantangan tersendiri, seiring dengan harapan pakar duniayang memperkirakan pariwisata akan menjadi industri terbesar pada abad ke-21 ini.
            “Tourism climate indices endeavour to express, in a single index, the complexity of tourists’ climate preferences and, therefore, the conditions suitable for tourism development” (Mieczkowski 1985). As such, they are a good example of climate services, being defined (National Research Council 2001) as “The provision of one or more climate products or advice in such a way as to assist decision-making by individuals or organizations”. “Tourism climate indices can use either observational or modelled data, they apply to all time scales, and they can be used for planning, investment or daily operations. Given the outlook on climate change, there is an even greater need for long-term indices applications, especially to estimate the economic impacts on tourism” (Amelung et al. 2007; ONERC 2009; Amelung and Moreno 2012).[1]
            Agaknya akhir-akhir ini, masalah wisata mengalami perkembangan baru yang tidak saja menjadi fenomena lokal dalam sebuah negara tertentu, namun justru berubah menjadi fenomena global sebagaimana kita cermati melalui berbagai media. Fenomena ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping karena faktor-faktor lain yang sedemikian bervariasi dan kompleks. Katakana saja karena faktor psikologis, manusi selalu cenderung mencintai sesuatu yang bernuansa baru sehingga apapun yang lama sudah mulai tidak diminati, atau setidaknya kurang menarik lagi. Katakana saja yang berkaitan dengan masalah wisata, akhir-akhir ini masyarakat sudah mulai tertarik dengan wisata yang berbasis syariah. Tentu saja hal ini sejalan dengan tingkat kesadaran religiositas masyarakat yang sudah mulai tumbuh, tidak saja di negara-negara islam atau mayoritas penduduknya sebagai muslim, bahkan juga di negara-negara sekuler sekali pun.[2]
            Atau dengan kata lain, akhir-akhir ini, wisata halal sudah semakin banyak diminati, sehingga diprediksi akan mepunyai prospek yang menjanjikan.[3] Oleh sebab itu industri pariwisata jenis baru ini perlu digarap secara profesional agar mempunyai daya saing yang kuat di pentas global yang pada akhirnya akan semakin memperkuat pemasukan devisa bagi negara masing-masing yang bersangkutan.[4] Karena bagaimanapun daya saing merupakan salah satu faktor kunci yang akan menentukan penyerapan wisatawan untuk berkunjung ke sebuah negara.[5]
            Karena itu berkaca fenomena baru tersebut dalam kaitan dengan mulai dikembangkannya wisata halal, mampukah Indonesia ke depan mengembangkan destinasi wisata halal dengan banyak mengeksplorasi kekayaan sumber daya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia selama ini. Nusa Tenggara Barat misalnya, adalah salah satu contoh kawasan yang saat ini all out mengembangkan wisata halal internasional (tingkat dunia). Dan sebagai konsekuensinya mmereka mendapatkan penghargaan sebagai salah satu destinasi wisata nomor satu di tingkat dunia. Berikutnya menyusul daerah Sumatra Barat dan Aceh yang terus memprogram dan bebenah untuk menjadi wisata halal di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, di Indonesia telah diproyeksikan sebanyak sepuluh destinasi wisata halal baru.[6]
            Dilihat dari aspek potensi sebagai destinasi baru wisata halal, ketiga daerah propinsi tersebut perlu diakui secara jujur dan objektif. Dari aspek potensi alam, misalnya, ketiganya mempunyai panorama alam yang sangat indah sehingga layak untuk dijual. Demikian pula dari aspek religiosita, ketiganya sama-sama dihuni oleh pemeluk Islam yang taat dan kuat sehingga banyak tema keislaman yang menjadi ikon spesifik yang menjadi karakter daerah masing-masing sebagai salah satu kunjungan wisata yang berbasis syariah.[7]  















B.      Rumusan Masalah
1.       Apa relasi hukum Islam (Fiqh) dalam pariwisata halal?
2.       Apa tujuan utama hukum Islam (peranan syariah Islam) terhadap pariwisata halal?
3.       Bagaimana pengaruh hukum Islam dalam perkembangan kepariwisataan?
4.       Apa relasi peraturan perundangan terhadap pariwisata halal?  

C.      Tujuan Masalah
1.       Untuk mengetahui relasi hukum Islam (Fiqh) dalam pariwisata halal
2.       Untuk mengetahui tujuan utama hukum Islam (peranan syariah Islam) terhadap pariwisata halal 
3.       Untuk mengetahui pengaruh hukum Islam dalam perkembangan kepariwisataan
4.       Untuk mengetahui relasi peraturan perundangan terhadap pariwisata halal  


















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Prespektif Hukum Islam (Fiqh)
            Sebagaimana kita ketahui, dalam dunia pariwisata akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan dikembangkan apa yang Namanya wisata halal, sebagai destinasi baru yang membedakanya dengan wisata konvensional yang sudah lama berkembang selama ini. Dikatakn berbeda karena destinasi yang pertama bernuansa agama (spiritualitas-regiousitas), sedangkan yang kedua bernuansa sekularistik-materialistik. Atau dengan kata lain, yang bertama dengan sentuhan ajaran wahyu (langit), sedangkan yang kedua bersentuhan dengan hasil pemikiran manusia (bumi-sains).[8]
            Pertanyaan mendasar adalah justru mengapa dalam realitas tidak disebut dengan istilah wisata Islam atau wisata syariah. Kiranya, dalam dalam hal ini dapat dipahami dari dua kemungkinan. Pertama, menggunakan istilah “halal” nampaknya lebih umum dan lebih populis dikalangan masyarakat luas. Sedangkan yang kedua, jika menggunakan istilah “syariat”, apalagi “Islam”, secara politis sedangkala terseret kedalam konotasi yang negatif. Terutama oleh kalangan masyarakat Barat yang secara apriori kurang respek terhadap ajaran agama islam. Akhir-akhir ini, tidak jarang predikat Islam oleh mereka dikaitkan dengan paham terorisme dan sektarianistik yang dianggap sebagai sumber ajaran kekerasan di berbagai belahan dunia. Padahal tidaklah demikian, karena sejatinya ajaran agama Islam adalah merupakan Rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh kehidupan di dunia ini.[9]
            Dengan demikian, mempersepsikan Islam sebagai sumber malapetaka kekerasan hanyalah biar semata yang seringkali dijadikan komoditas politik global untuk mendeskriditkan umat Islam di dunia internasional. Nampaknya steriotip yang demikian itulah yang terus menjadi sumber kebencian antara dunia Barat yang mayoritas Kristen versus dunia timur yang mayoritas Islam. Hingga saat ini segala isu yang beraromakan ajaran Islam terus digoreng oleh komunitas yang tak bersimpati sehingga muncul konflik yang berkepanjangan di berbagai peta bumi ini.[10]
            Sebab itu bagi siapapun yang memahami Islam secara holistic penggunaan istilah halal, atau syariah, atau bahkan Islam sekali pun, pada hakikatnya adalah sama. Bukankah istilah halal itu merupakan salah satu terma dalam ajaran Islam yang seringkali juga dikorelasikan dengan istilah syariah. Namun demikian penggunaan istilah “halal” dalam aktivitas wisata mengandung pesan teologis, dalam arti, hendaknya segala aktivitas wisata yang dibangun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ajaran yang disyariatkan Islam.[11]
            Karena itu Islam melarang segala bentuk perbuatan yang haram hukumnya, tanpa kecuali dalam dunia pariwisata karena akan lebih banyak mendatangkan kemadlaratan (bahaya-sisi negative) dari pada kemaslahatan yang akan diperoleh. Kendati secara realitas, tidaklah semua muslim menyadari bagaimana efek negatif ini karena praktik wisata yang sekularistik telah menjadi maindset di alam pikiran masyarakat global. Sampai akhirnya, menjadi semacam gaya hidup (lifestyle) masyarakat di berbagai belahan dunia.[12]
            Karena itu, pada bagian ini, untuk selanjtnya, akan dikemukakan berbagai infrastuktur yang seyogianya steril dari perilaku haram secara syar’i dalam kaitan dengan wisata halal yang sejatinya bertujuan untuk menciptakan lifestyle yang berbasiskan syariah di kalangan masyarakat luas. Terutama di kalangan muslim sebagai implementasi dari ajaran agama yang dianutnya.[13]
1.       Hukum Islam: Gambaran Umum dan Ketentuan Hukum
            Hukum islam adalah salah satu system hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping sistem hukum lain, seperti hukum adat, hukum Eropa (produk legislasi kolonial) dan sistem hukum yang merupakan produk legislasi nasional dalam berbagai bentuk perundang-undangang dengan segala turunannya yang diberlakukan di kawasan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[14] Tradisi pembentukan hukum Indonesia menunjukkan bahwa bentuk keempat bentuk dasar itu tidak pernah diabaikan menjadi sumber materiil pada tiap perumusan konsep hukum baru. Hukum islam pada awalnya mewakili paham tekstual keagamaan yang hidup dan mengikat masyarakat Islam.[15]
            Sistem hukum yang bersumber, sekaligus yang menjadi bagian dari agama Islam itu berlaku hanya bagi umat Islam karena secara demografis mereka merupakan populasi yang paling banyak jumlahnya, dibanding penganut agama lain di Indonesia.[16] Selanjutnya, dalam sistem hukum Islam, dikenal dua istilah yang biasa digunakan, yakni Syariat Islam (Islamic Law) dan Fiqih Islam (Islamic Jurisprudence). Atau dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam digunakan istilah hukum syariat, sedangkan untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau hukum (fiqih) Islam.[17]
            Namun demikian di dalam praktik, seringkali, kedua istilah tersebut dirangkum dalam satu istilah hukum Islam saja. Ini disebabkan karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, sekalipun dapat dibedakan, namun tidak mungkin dipisahkan. Syariat merupakan dasar dari pada fiqih, sedangkan fiqih adalah ilmu untuk memahami syariat. Keduanya sama-sama mempunyai sumber dalam Al-Qur’an, seperti surat Al-Jaatsiah, 45:18 merupakan sumber dari ajaran syariat, sedangkan surat At-Taubah, 9:122 sumber dari ajaran fiqih.[18]
            Sebagaimana ghalibnya, dalam sistem hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun fiqih mengandung dua ajaran pokok, yakni tentang ibadah dan muamalah. Ibadah mengkaji tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan secara vertical (habl min Al-Allah) yang tata caranya telah diatur oleh Allah SWT sendiri melalui Rasul-Nya. Berkaitan dengan ajaran ibadah ini berlaku asas fiqhiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan, kecuali ada perintah untuk melakukannya.[19] Sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian jika hal itu dilakukan maka haram hukumnya.
            Sebaliknya tentang muamalah yang membicarakan aktivitas hubungan antara manusia secara horizontal (habl min al-nas), karena biasanya yang diajarkan terbatas yang pokok-pokok saja, sehingga bersifat terbuka. Artinya, banyak ruang atau pintu masuk untuk dilakukan tinjauan ulang sesuai kebutuhan melalui pintu ijtihad atas dasar asas umum yang berlaku bahwa pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali ada perintah yang melarangnya.[20] Inilah sisi perbedaan dengan perbuatan ibadah yang bersifat tertutup.
            Di antara contoh mengenai muamalah itu adalah pengembangan destinasi wisata halal yang saat ini mulai banyak dikembangkan kendati belum ada ketentuanya secara tegas, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Dengan demikian jika dikaitkan dengan al-ahkamah al-khamsah, maka termasuk dalam kategori ja’iz, (mubah-ibahah).[21] Artinya destinasi wisata halal itu mengandung kebebasan, apakah akan dilakukan atau tidak, sangatlah tergantung kepada siapa pun yang akan melakukannya. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari predikat halal itu sendiri, bagaimanapun atmosfer dunia wisata halal tidak selayaknya jika berseberangan dengan ketentuan syariah Islam. Jika berlawanan, maka kata halal itu sendiri tidak akan mempunyai makna apa pun.[22]      
            Di dalam fatwa, khusus mengenai ketentuan hukum, dipertegas lagi, bahwa jika penyelenggaraan pariwisata yang sudah jelas berdasarkan prinsip syariah, maka boleh dilakukan dengan syarat mengikuti beberapa ketentuan yang telah di fatwakan. Artinya, jika sekiranya terjadi hal yang bertentangan dengan apa yang difatwakan, maka sama halnya dengan menentang prinsip-prinsip syariah sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya akan berujung pada larangan (haram) untuk dilakukan.[23]
            Karena itu dalam kaitan ini, menurut Fahad Salim Bahammam, berpergian (berwisata) adalah merupakan sebuah sarana yang hukumnya berdasarkan tujuannya. Artinya jika tujuannya adalah untuk kewajiban, maka wajib untuk melakukannya, seperti menunaikan haji bagi yang belum pernah menunaikan.[24]  
2.       Tujuan Utama Hukum Islam (Peranan Syariah Islam)
            Kehadiran sebuah hukum, baik produk manusia maupun Tuhan (syariat-agama) pasti mempunyai tujuan untuk mengatur kepentingan manusia, baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain maupun dengan lingkungannya. Tegasnya, kehadiran hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum yang dapat menjamin keamanan, kenyamanan, ketenangan dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian perlu dipahami bahwasanya ada sisi perbedaan yang sangat mendasar sekali antara kedua produk itu, di mana hukum hasil rekayasa manusia hanyalah sebatas mengatur perilaku manusia di dunia semata. Hukum manusia tidak akan mampu menjangkau dan menjelaskan bagaimanakah sejatinya hidup setelah mati di alam fana ini.[25]
            Sedangkan hukum Tuhan yang dikenal dengan sebutan syariah, tidak saja menjangkau masalah kehidupan di dunia semata, namun juga bagaimana sebenarnya kehidupan di akhirat kelak. Islam mengajarkan ada kelanjutan kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini. Bahkan diajarkan pula, bahwa kebahagiaan hidup akhirat yang abadi akan sangat ditentukan oleh perilaku setiap diri manusia selama hidup di dunia. Artinya, secara syar’i, kepatuha  seseorang terhadap ketentuan syariat akan menjadi faktor penentu keslamatan yang bersangkutan di akhirat kelak. Itulah ajaran Islam kepada umat manusia secara universal.[26]
            Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik jasmani maupun rohani, baik individu maupun social. Atau, kemaslahatan yang tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, namun juga untuk kehidupan akhirat kelak.[27] Dalam kaitan ini, Abu Ishak Al-Shatibi (m.d. 790/1388) telah merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang pada akhirnya disepakati oleh ilmuwan hukum Islam yang lainnya.[28]
            Para ulama salaf dan khalaf tidak pernah  bersilang pendapat, bahwa setiap hukum syariah pasti memiliki alasan (‘illah) dan juga tujuan (maqashid) pemberlakuannya. Tujuan dan alasanya adalah untuk membangun dan menjaga kemaslahatan manusia.[29] Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sebagaimana yang dikutip Jasser Audah, menyatakan bahwa syariah adalah suatu hikmah dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang dalam kehidupan di dunia dan akhirat.[30]
            Namun demikian perlu dipahami bahwa kemaslahatan yang diharapkan dalam Islam, tidaklah sebatas untuk individu atau komunitas tertentu, namun juga untuk seluruh umat manusia secara universal, kapan pun dan dimana pun saja. Inilah sejatinya yang dimaksud bahwa ajaran Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin bagi seisi alam kehidupan.[31]
            Atau, jika dikaitkan dengan wisata halal yang perlu mendapat perlindungan adalah para wisatawan agar mereka merasa aman, nyaman, dan tenang dalam menikmati wisata. Tidaklah sebatas yang beragama Islam saja, namun apa pun agama, etnis, kebangsaan maupun status sosial mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan sentuhan rahmat atau perlindungan yang sama. Sehingga dengan demikian, kemaslahatan yang di cita-citakan dalam syariat Islam adalah kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.[32]
            Ini menunjukan bahwa doktrin syari’ah merupakan akumulasi dari aspek keadilan, kedamaian, kebijakan, dan kebaikan.[33] Apabila elemen dasar-dasar ini tidak hadir dan terakomodir, maka berkecenderungan kemaslahatan yang diidealkan tidak akan pernah terwujud. Baik dalam diri seseorang maupun umat manusia secara keseluruhan yang pada akhirnya yang akan mencederai ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi seluruh alam.[34]      
3.       Ciri-Ciri / Karakteristik Hukum Islam
            Hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun fiqih secara umum dapat dipetakan ke dalam dua bagian, yakni tentang ibadah dan muamalah. Bagian yang pertama berkaitan dengan hubungan manusia (makhluk) dengan Tuhan (Khalik-Pencipta-Great Creater) yang bersifat vertikal yang dikenal dengan ibadah mahdhah (murni ibadah-pure). Antara lain tentang shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kedua, yakni muamalah, berisikan ketentuan-ketentuan syariat yang mengatur hubungan antarmanusia secara horizontal dalam segala aspek kehidupan, seperti masalah perkawinan, ekonomi dalam segala bentuk dan macamnya, politik, dan lain sebagainya. Di antara kedua ranah ini, tentu wisata halal merupakan kawasan dari kajian muamalah yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masalah aktivitas keduniawian (profan).[35]
            Ciri mendasar yang membedakan hukum Islam dengan hukum modern adalah tentang sumber yang menjadi dasar ketentuanya. Hukum Islam sudah pasti bersumber pokok dari ajaran wahyu, bail Al-Qur’an maupun Sunnah. Sedangkan hukum modern merupakan produk sains (imajinasi/akal manusia) yang tidak jarang membuka ruang ijtihad (debatable) sejalan dengan situasi dan kondisi yang sedemikian dinamis sesuai tempat dan perubahan zaman.[36]
            Pada zaman dulu, bisa jadi orang melakukan wisata makruh hukumnya, karena dianggap kurang manfaatnya. Terlebih lagi jika destinasi yang dikunjungi banyak praktik perbuatan yang kontra produksi dengan syariat Islam, maka bukanlah tidak mungkin haram untuk dikunjungi. Sebab itu untuk mencarikan solusi, sekaligus memberi alternatif kepada masyarakat agar terhindari dari yang haram akhirnya dikembangkanlah dertinasi wisata baru yang sesuai dengan prisip syariah.[37]
            Untuk itu, paling tidak secara fikih, menurut hemat penulis, hukum wisata halal adalah mubah, artinya boleh dilakukan. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa hukum asal melakukan muamalah apa pun adalah boleh, terkecuali jika ada dalil yang melarangnya.[38]
            Adapun karakteristik hukum Islam sebagai pembeda dari hukum modern, secara lebih rinci dapat dikemukakan sebagai berikut,[39] yakni:
a.      Merupakan bagian dari agama Islam
b.     Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan akhlak Islam
c.      Mempunyai dua istilah kunci, yakni syariat dan fiqih
d.     Meliputi dua bidang utama, yakni ibadah dan muamalah
e.      Strukturnya berlapis yang meliputi:
·       Nas atau teks Al-Qur’an
·       Sunnah
·       Hasil ijtihad yang memenuhi syarat
·       Pelaksanaanya dalam praktik baik berupa keputusan hakim maupun yang berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fiqih)
f.      Mendahulukan kewajiban dari pada hak, mengedepankan amalan dari pada pahala
g.     Meliputi:
·       Hukum taklifi (al-ahkam al-khamsah), yakni jaiz, sunah, makruh, wajib dan haram.[40]
·       Hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.[41]
            Namun demikian, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dalam sebuah karyanya Falsafah Hukum Islam, menyempurnakan ketujuh ciri tersebut menjadi sepuluh, yakni:
h.     Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam dimana pun mereka berada, dalam arti tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau suatu masa tertentu saja.
i.       Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan
j.       Pelaksanaannya dalam praktik dikendalikan oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.[42]
            Untuk itu pendapat Ash-Shiddieqy dikaitkan dengan aktivitas kepariwisataan, hendaknya destinasi wisata halal yang dibangun harus mengedepankan harga diri (muruah) kemanusiaan, tidak bersikap diskriminatif dengan alasan yang tidak jelas, memperlakukan wisatawan bukanlah karena status sosialnya, namun semata karena martabat kemanusiaannya secara hakiki. Menyediakan infrastruktur yang layak dan aman, kiranya juga merupakan bagian dari menghargai hak-hak kemanusiaan yang universal. Selalu melindungi keselamatan dalam bentuk dan sekecil apapun bagi wisatawan agar mereka merasa aman (safety), nyaman dan tenang dalam menikmati wisata.[43]


4.       Al-Ahkam Al-Khamsah: Posisi Hukum Wisata Halal
            Yang dimaksud dengan al-ahkam al-khamsah yang dalam Indonesianya dikenal dengan ahkamul khamsah (hukum taklifi) adalah lima kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam.[44] Dikatakan taklifi karena kelima hukum inilah yang dibebankan kepada manusia selaku makhluk hidup yang berakal secara sempurna. Dengan kemampuan akal yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia, pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk membedakan (tamyiz) mana yang boleh dikerjakan, atau sebaliknya mana yang wajib ditinggalkan.[45]
            Selanjutnya dalam kaitan dengan dunia pariwisata misalnya, manakah destinasi wisata yang boleh dikunjungi dengan alasan karena tidak mengandung unsur-unsur yang berseberangan dengan ketentuan syariah. Atau, sebaliknya justru destinasi wisata yang boleh dikunjungi karena di dalamnya ada hikmah atau nilai-nilai yang membawa pada kemaslahatan bagi kehidupan. Apabila dikaji dari prespektif fiqih, maka niscaya destinasi wisata halal-lah yang boleh dijadikan objek para wisatawan Muslim.[46]
            Di dalam sitem hukum Islam, ahkamul khamsah itu meliputi wajib, sunnah, jaiz (mubah), makruh dan haram. Sejatinya ahkamul khamsah inilah yang membedakannya dengan produk hukum manusia yang hanya berkisar pada komitmen hitam dan putih, Hitam dalam arti dilarang dilakukan, sedangkan putih berarti boleh dilakukan dan bebas dari sanksi terhadap pelakunya.[47]
5.       Hukum Islam dan Perkembangan Kepariwisataan
            Kehadiran hukum dalam kehidupan sosial tentu saja merupakan sebuah keniscayaan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat luas. Tanpa adanya hukum yang jelas, niscaya akan terjadi anomali yang menimbulkan ketidakjelasan dalam kehidupan. Dampaknya, selain memunculkan kedzaliman yang bisa jadi dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, namun disisi lain juga akan menyuburkan rasa ragu atau was-was di kalangan masyarakat banyak.[48]
            Untuk itu, bagaimanapun fungsi hukum dalam segala bentuk dan turunannya merupakan rambu-rambu dalam beraktivitas, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Demikian pula dalam kaitan dengan aktivitas dunia pariwisata, di mana aktivitas wisata halal merupakan bagian di dalamnya.[49]      
            Dalam kehidupan ini masyarakat tanpa kecuali harus menaati dua macam hukum secara bersamaan. Dalam kapasitasnya sebagai warga negara, mereka wajib taat terhadap hukum negara di mana mereka hidup. Demikian pula dalam kapasitasnya sebagai pemeluk sebuah agama, katakana saja sebagai Muslim, mereka wajib taat terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang berlaku. Pemberlakuan kedua hukum itu, tanpa kecuali, berlaku bagi pengusaha, para pengusaha, maupun masyarakat pendukung wisata. Karena pada prinsipnya mereka adalah sama di muka hukum, dalam arti, tidak ada diskriminasi antara yang satu dengan yang lain.[50]
            Perlu dipahami, tidak jarang perkembangan hukum kalah cepat dengan dinamika sosial kemasyarakatan sehingga tidak jarang terjadi kevakuman hukum di tengah masyarakat tentang sebuah objek hukum. Kendati dikatakan bahwa fungsi hukum antara lain adalah sebagai instrumen untuk merekayasa sosial masyarakat (social engineering), tetapi di sisi lain hukum juga harus peka terhadap kebutuhan hukum masyarakat.[51]
            Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah hukum (peraturan perundangan) yang berkaitan dengan masalah wisata halal telah tersedia. Sementara perkembangan industri wisata berdasarkan prinsip-prinsip syariah saat ini mulai menarik perhatian para wisatawan Muslim di berbagai kawasan, sehingga perlu dikelola secara sungguh-sungguh dan professional. Oleh karena itu, dengan mencermati fenomena yang terus berkembang saat ini, baik di tingkat lokal maupun global, yang menjadikan destinasi halal tourism sebagai alternatif baru adalah komunitas Muslim untuk berwisata sehingga perlu digali landasan yuridisnya dalam prespektif Islam.[52]
            Sejatinya di tahun 2016 telah lahir sebuah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomer 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata berdasarkan prinsip syariah yang menjadi landasan standarisasi aspek-aspek wisata halal. Namun nampaknya fatwa ini masih belum final dan masih butuh penyempurnaan sehingga ke depan masih diperlukan produk ijtihad baru guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.[53]
            Tentu saja ijtihad baru tersebut sejalan dengan perkembangan wisata halal itu sendiri untuk menjamin kepastian hukum dunia kepariwisataan. Secara bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan pikiran, menghabiskan kesanggupan. Sedangkan secara istilah diartikan dengan mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak pada Kitab dan Sunnah.[54] Atau, dengan kata lain, ijtihad adalah merupakan usaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam.[55]   
            Dalam hukum Islam dikenal beberapa metode untuk melakukan ijtihad, baik yang dilakukan secara individual maupun kolektif sebagaimana yang dilakukan oleh DSN-MUI. Di antara metode di maksud adalah Ijma’, qiyas, istidal, al-masalih al-mursalah (maslahat mursalah), istihsan, istishab, dan ‘urf.[56]  
            Jika sekiranya kedepan, wisata halal perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisatawan Muslim agar tidak hanya mengunjungi wisata konvensional, maka dengan demikian, dasar pertimbangannya adalah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Untuk itu, metode ijtihad yang dapat digunakan adalah maslahah mursalah.[57]     
            Karena itu, dengan adanya wisata halal, maka diharapkan para wisatawan Muslim, dalam memenuhi kebutuhan rekreasinya, tidak terjebak kedalam destinasi wisata yang seringkali kontroversi dengan prinsip-prinsip syariah. Inilah yang dimaksudkan perlu adanya produk hukum baru dalam dunia kepariwisataan agar kemaslahatan masyarakat bisa terwujud. Karena bagaimanapun hukum harus memenuhi perkembangan dunia kepariwisataan seperti wisata halal yang memulai banyak diminati.
B.      Peraturan Perundangan
            Indonesia memiliki sebuah potensi besar untuk menjadi sebuah pusat pariwisata halal di skala global karena Indonesia memiliki keindahan alam, beragam kebudayaan dan populasi umat muslim yang terbesar di dunia. Kementerian Pariwisata Republik Indonesia melakukan usaha-usaha dalam mempromosikan Indonesia sebagai pusat suatu destinasi pariwisata halal, hal ini layak untuk diapresiasi. Namun dalam mengembangkan pariwisata halal ini tidak hanya melakukan promosi secara masif saja untuk mengejar posisi di skala global, tetapi harus juga didukung dengan sebuah regulasi yang kuat sebagai pedoman untuk melangkah atau mengembangkan. Dari sisi regulasi ini, pariwisata halal di Indonesia tergolong lemah karena tidak adanya aturan yang mengaturnya secara spesifik baik dalam bentuk Undang-Undang maupun pada Peraturan Menteri.
            Aktivitas wisata halal sampai saat ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Undang-Undang ini mengatur tentang kepariwisataan secara umum, dan tidak mencantumkan peraturan pariwisata halal. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan tersebut, pariwisata adalah “berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”[58] Meskipun dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kata pariwisata halal, tetapi kalau kita cermati pada bagian kata “berbagai macam kegiatan wisata” terdapat ada identifikasi bahwa diperbolehkan melakukan kegiatan pariwisata halal yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.
1.       Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
            Sebagaimana kita pahami bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada kita bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaanya.[59] Karena itu untuk menjamin setiap pemeluk agama agar dapat melakukan ibadah dan menjalankan ajaran agamanya, maka bagaimanapun negara wajib melindungi dan menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.[60]  
            Perlu diakui bahwasanya produk yang beredar selama ini di masyarakat belumlah semua terjamin kehalalannya secara syar’i.[61] Di samping pengaturan mengenai kehalalan suatu produk belum terjamin kepastian hukumnya sehingga perlu diatur dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan secara nasional.
            Itulah dasar pertimbangan yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia, sebagaimana yang tertuang di dalam klausula menimbang. Oleh karena undang-undang ini bersifat umum, maka tentu saja berlaku pula untuk industri pariwisata halal yang harus steril dari segala hal yang haram berdasarkan syari’ah.
            Adapun relevansinya undang-undang tersebut dengan wisata halal, antara lain adalah karena menyentuh berbagai kebutuhan wisatawan (Muslim) seperti tempat penginapan, restoran, kolam renang, spa dan faktor pendukung lain sebagainya. Selama di hotel, mereka dijamu makanan dan minuman sesuai fasilitas yang disediakan yang kesemuanya harus dijamin kehalalannya.[62]
            Demikian pula untuk restoran atau rumah makan dengan segala macamnya yang dijual kepada wisatawan selaku konsumen harus jelas pula kehalalannya agar mereka tidak tercederai akidahnya karena telah menikmati produk yang haram dikonsumsi.[63] Keharaman produk itu baik yang berkaitan dengan bahan baku maupun proses pembuatannya.[64] Sebab itu untuk menjamin kehalalan itu diperlukan kejujuran, keterbukaan dan niat baik para pelaku usaha, produsen maupun para penjual dalam memproduksi dan menjual segala macam produk kepada wisatawan yang berkunjung.[65]
2.       Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
            Pembangunan perekonomian nasional di era globalisasi dewasa ini, bagaimanapun harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha agar mampu menghasilkan bermacam-macam barang dan jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.[66] Namun demikian dengan semakin terbukanya pasar global yang ditandai dengan semakin ketatnya daya saing, maka diperkuat dengan peraturan perundangan yang dapat melindungi kepentingan mereka.[67] Disamping itu juga perlu melindungi kepentingan pelaku usaha agar terjadi keseimbangan antara kedua belah pihak. Itulah antara lain di antara pertimbangan filosofis dalam konsideran menimbang perlunya undang-undang tentang perlindungan ini diciptakan.[68]
            Adapun yang dimaksud dengan konsumen dalam kaitan dengan destinasi wisata halal adalah para wisatawan (turis), sedangkan pelaku adalah perilaku industri kepariwisataan. Kedua mereka ini jelas saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Pelaku usaha wisata butuh pengunjung agar dapat terus meningkatkan omzet industri (korporat) yang ditekuninya. Sementara wisatawan butuh destinasi rekreasi agar pikiran mereka menjadi tenang dan refresh yang dapat melahirkan inspirasi dan inovasi-inovasi baru untuk pengembangan diri yang dapat disumbangkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
            Disisi lain dalam perlindungan konsumen terdapat juga mendapatkan perawatan medis, yang dimana setiap para wisatawan yang sakit atau kurang sehat bisa mendapatkan perawatan medis, sehingga dapat membantu para wisatawan dalam mengatasi kendala tersebut dalam berwisata. From developed countries to developing or emerging countries for medical treatments. This occurs for a variety of reasons including cost considerations, shorter waiting periods, and better quality of care, among others. Hence, the direction of patient traffic has changed from being one directional to bi-directional. In the past, people in high income groups have travelled to developed countries to acquire advanced treatments, but middle-class people in developed countries have now begun to travel to developing countries to receive high-quality treatment with at a lower cost and this has become a new concept in the tourism sector (Chen and Flood 2013; Connell 2011; Horowitz and Rosensweig 2008; Ormond 2011).[69]
            Sebagaimana telah disinggung sebelum ini, bahwa pada hakikatnya destinasi wisata itu ibarat rumah tangga dalam sebuah keluarga, sedangkan wisatwan adalah tamu mereka yang akan melakukan silaturrahim. Islam mengajarkan, bagaimanapun tamu itu wajib dihargai, dihormati, dan dilindungi kepentingannya.
            Atau, dengan kata lain, wisatawan dapat pula dianalogikan (di-qiyas-kan) sebagai pembeli yang perlu dilayani dengan baik agar mereka mendapat kepuasan karena telah mendapat perlakuan prima dan mendapatkan apa yang dibutuhkan.











BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
            Dalam sandaran yuridis dan etis, dalam yuridis dijelaskan pariwisata halal harus mempunyai landasan hukum yang spesifik sebagai untuk pengembangan ditahap berikutnya, sedangkan yang dimaksud dengan etis adalah industri pariwisata halal harus sesuai sengan norma-norma etis atau bisa disebut dengan akhlak dalam ajaran agama Islam. Kedua sandaran tersebut tidak boleh dihilangkan dalam melakukan pengembangan industri pariwisata halal.
            Landasan hukum dari industri pariwisata halal adalah landasan berbasis syariah yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi dalam menyikapi suatu masalah-masalah yang ada dalam dunia pariwisata halal, perlu juga dibutuhkan ijtihad para ulama’ yang menguasai bidang hukum fikih.
            Perlu diketahui, bahwa industri pariwisata halal membutuhkan kajian dari maqashid al-syariah yang dimana telah menerangkan tentang batasan-batasan suatu wilayah yang mana wajib dilindungi bagi wisatawan. Agama atau keyakinan merupakan aspek utama yang wajib diiperhatikan, dengan cara memberikan fasilitas ketersediaanya tempat ibadah di tempat industri pariwisata halal, agar mereka tetap dapat melakukan shalat di tengah-tengah melakukan suatu aktivitas pariwisata.
            Dari sisi regulasi ini, pariwisata halal di Indonesia tergolong lemah karena tidak adanya aturan yang mengaturnya secara spesifik baik dalam bentuk Undang-Undang maupun pada Peraturan Menteri.







B.      Saran
            Untuk lebih mengembangkan industri pariwisata halal ini, seharusnya negara Indonesia membuat Peraturan Perundangan-undangan, yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang spesifik tentang industri pariwisata halal, sehingga dalam sisi regulasinya kuat.
            Perlu dibentuknya sebuah badan pengawas yang berbasis syariah, yang dimana fungsinya melakukan pengawasan secara khusus. Seperti halnya dengan MUI yang mengawasi perbankan syariah.






















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994

Ali, H. Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013

Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar Al-Qalam, 1420 H

Auda, Jasser, Maqashid Al-Syari’ah Dalil lil Mubtadiin, Virgina: Al-Ma’had Al-Islamiy li Al-Fikr Al-Islamiy. 2011

Bakry, H. Nazar, Fiqh & Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003

Damanik, Janianton, Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013

Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, Edisi ketiga, Malang: UIN-Maliki Press, 2016

Djakfar, Muhammad, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, Malang: UIN-Maliki Press, 2019

Djazuli, H.A., Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007

Dubois, Ghislain, Jean Paul Ceron, Clotilde Dubois, Maria Dolores Frias and Sixto Herrera, “Reliability and usability of tourism climate indices”, University of Cantabria, Santander Meteorological Group, Instituto de Física de Cantabria, IFCA, Avda. de los Castros, s/n, 39005, Santander, Spain Maria Dolores Frias, Dubois et al. Earth Perspectives (2016) 3:2 DOI 10.1186/s40322-016-0034-y, 1

Miladiyah, Uyunur Rochmawati dan Slamet, “Strategi Competitive Advantage Untuk Membangun City Branding Kota Batu Sebagai Kota Wisata”, dalam Iqtishoduna Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 10, Nomor 2, Tahun 2014, 89-99

Nursyamsi, Muhammad dan Sapto Andika Candra, “Berlomba Kembangkan Wisata Halal”, dalam Republika, edisi 16 Agustus 2017

Sam, H.M. Ichwan, dkk (tim penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: Kerja Sama DSN-MUI dengan Ban km Indonesia, 2003

Sunaryo, Bambang, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2013

Syarifuddin, H. Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

Ucak, Harun, “The Relationship Between The Growth in The Health Sector and Inbound Health Tourism: The Case of Turkey”, Department of Economics and Finance, Faculty of Business, Alanya Alaaddin Keykubat University, Alanya, Antalya, Turkey, SpringerPlus (2016) 5:1685 DOI 10.1186/s40064-016-3341-8

Yunia, Fauzia Eka dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif Maqashid Al-Syariah, Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014

Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta: Haji Mas Agung, 1987




[1] Ghislain Dubois, Jean Paul Ceron, Clotilde Dubois, Maria Dolores Frias and Sixto Herrera, “Reliability and usability of tourism climate indices”, University of Cantabria, Santander Meteorological Group, Instituto de Física de Cantabria, IFCA, Avda. de los Castros, s/n, 39005, Santander, Spain Maria Dolores Frias, Dubois et al. Earth Perspectives (2016) 3:2 DOI 10.1186/s40322-016-0034-y, 1
[2] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 4-5
[3] Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, saat ini mulai serius menyajikan destinasi wisata halal untuk mengincar wisatawan mancanegara (wisman) Muslim. Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta pada 2015. Jumlah itu diperkirakan bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan pada 2020 dengan pengeluaran diatas 200 miliar atau Rp.2.600 triliun. Lihat, Muhammad Nursyamsyi dan sapto Andika Candra, “Berlomba Kembangkan Wisata Halal,” dalam Republika, edisi 16 Agustus 2017
[4] Janianton Damanik, Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 50-58. Lihat pula, Bambang Sunaryo, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2013), 193-197
[5] Bandingkan dengan Uyunur Rochmawati Miladiyah dan Slamet, “Strategi Competitive Advantage Untuk Membangun City Branding Kota Batu Sebagai Kota Wisata”, dalam Iqtishoduna, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 10, Nomor 2, Tahun 2014, 89-99
[6] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 5
[7] Ibid. 6
[8] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 79
[9] Ibid. 79-80
[10] Ibid. 80
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid. 80-81
[14] Lihat dan badingkan dengan Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 16
[15] Ibid.
[16] Dalam hitungan kasar, di tahun 20017, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 225-260 juta jiwa. Jika sekiranya pemeluk Islam mencapai rentang antara 87-88 % dari total keseluruhan, maka dapat diperkirakan pula bahwa negeri ini dihuni oleh sekitar 210-220 juta penduduk yang beragama Islam. 
[17] H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 49
[18] Ibid., 49-50. Dalam kaitan ini, untuk selanjutnya, periksa selengkapnya QS. Al-Jaatsiyah, 45:18 dan QS. At-Taubah, 9:122
[19] Baca, H.M. Ichwan Sam, dkk (tim.penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Jakarta: Kerja sama DSN-MUI dengan bank Indonesia, 2003) 
[20] Dalam kaitan ini baca, H. Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), dan baca pula Ichwan Sam, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional
[21] Al-Ahkamah Al-Khamsah yang dimaksud adalah penggolongan hukum yang lima yang disebut pula dengan lima kategori hukum yang meliputi ja’iz (mubah-ibahah), sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam hal ini lihat Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah (Jakarta: Haji Mas Agung, 1987), 5
[22] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 83
[23] Ibid., 174
[24] Fahad Salim Bahammam, Panduan Wisatawan Muslim, ter.Ganna Pryadarizal Anaedi & Syifa Annisa (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), 9
[25] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 83
[26] Ibid., 84
[27] Muhammad Daud, Hukum Islam, 61
[28] Ibid.
[29] Fauzia ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar ekonomi Islam Prespektif Maqashid Al-Syariah (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), 44
[30] Ibid.
[31] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 84
[32] Ibid. 85
[33] Jesser Auda, Maqashid Al-Syariah as Philosophy of Law: A Systems Approach, dalam Ibid., 44
[34] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 85
[35] Ibid. 85-86
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Mohammad Daud, Hukum Islam, 58-59
[40] Dalam kaitang dengan ahkamul khamsah ini lihat dan bandingkan dengan H. Amir Syarifuddin dalam sebuah karyanya Ushul Fiqh dalam sebuah topik bahasannya tentang pembagian hukum syara’. Ia membagi hukum syara’ itu ke dalam hukum wajib, mandub, haram, karahah, mubah, rukhshah dan ‘azimah. Dengan demikian disamping hukum yang lima masih ada hukum lagi yakni rukhshah dan ‘azimah. Lihat H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 336-380   
[41] Titah Allah yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi disebut hukum wadh’i. Hukum wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia, namun bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi sebab, atau syarat yang diberi syarat atau penghalang dan yang dekenakan halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada tiga macam, yakni sebab (sebab), syarat, dan mani’. Lihat dalam ibid., 394
[42] Lihat, Mohammad Daud, Hukum Islam, 59
[43] Dalam kaitan ini, dalam kaidah-kaidah fiqih diajarkan, antara lain: “menolak mafsadah didahulukan dari pada meraih maslahat,” dan “kemudaratan (harus) dihilangkan,” Lihat, H.A Djazuli, kaidah-kaidah fikih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 11. Dalam sebuah hadist, riwayat Al-Hakim, ditegaskan, “Janganlah memudaratkan dan jangan dimudaratkan,” Lihat Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qwa’id Al-Fiqhiyah (Beirut: Daar Al-Qalam, 1420 H), 288
[44] Mohammad Daud, Hukum Islam, 145
[45] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 88
[46] Ibid. 89
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Lihat, fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, NO. 108/DSN-MUI/108/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah
[50] Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki Press, 2019), 89-90
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Mohammad Daud, Hukum Islam, 38
[55] Ibid., 112
[56] Ibid., 119-120
[57] Maslahat Mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Lihat, dan bandingkan dengan Ibid., 121
[58] Periksa Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 No. 3 
[59] Lihat, dalam konsideren “Menimbang,” dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
[60] Ibid.
[61] Dalam mengkonsumsi makanan misalnya, umat Islam (Muslim) harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat. Antara lain sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT, Surat Al-Baqarah, 2:168 yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Substansi ayat ini adalah merupakan prinsip yang mendasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun bagi yang beriman kepada Allah SWT.
[62] Dalam hal ini periksa, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syari’ah
[63] Lihat kembali dan bandingkan dengan, Ibid.
[64] Dalam hal ini lihat, Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, edisi revisi (Malang: UIN-Maliki Press, 2016), 227-229
[65] Bandingkan dengan Ibid., 421
[66] Lihat, dalam konsideran “Menimbang,” dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 
[67] Ibid.
[68] Ibid.
[69] Harun Ucak, “The Relationship Between The Growth in The Health Sector and Inbound Health Tourism: The Case of Turkey”, Department of Economics and Finance, Faculty of Business, Alanya Alaaddin Keykubat University, Alanya, Antalya, Turkey, SpringerPlus (2016) 5:1685 DOI 10.1186/s40064-016-3341-8


Hukum Bisnis

Relasi Hukum Islam dan Peraturan Perundangan Dalam Pariwisata Halal

RELASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PARIWISATA HALAL MAKALAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis Dosen ...