RELASI HUKUM ISLAM DAN PERATURAN
PERUNDANGAN
DALAM PARIWISATA HALAL
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu : Prof.
Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag
Disusun oleh:
Ilham
Muzaki
NIM: 17510024
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Relasi Hukum Islam dan Peraturan Perundangan Dalam Pariwisata Halal”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H.
Muhammad Djakfar, SH., M.Ag Sebagai
Dosen mata kuliah Etika Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan
berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah
berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah
ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas
segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prespektif Hukum Islam (Fiqh)
1. Hukum Islam: Gambaran Umum dan Ketentuan Hukum
2. Tujuan Utama Hukum Islam (Peranan Syariah Islam)
3. Ciri-Ciri / Karakteristik Hukum Islam
4. Al-Ahkam Al-Khamsah: Posisi Hukum Wisata Halal
5. Hukum Islam dan Perkembangan Kepariwisataan
B. Peraturan Perundangan
1. Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
2. Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa
ini kita sedang dihadapkan pada kondisi masyarakat dunia dan masyarakat
Indonesia yang sedang mengalami perubahan menghadapi tata hubungan antar bangsa
yang semakin terbuka dan bebas. Hal ini mendorong perlunya perubahan tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia. Di tingkat regional dan global, pembangunan
pariwisata dihadapkan kepada tantangan yang berat, terutama bila dikaitkan
dengan kompetisi yang semakin tajam. Era globalisasi telah membawa konsekuensi
dan perubahan penting terhadap perkembangan industri pariwisata nasional,
terutama pemanfaatan kemajuan teknologi dan perubahan pola tingkah laku
wisatawan internasioanal. Persaingan antar tujuan wisata di tingkat regional
dan internasional menjadi tantangan tersendiri, seiring dengan harapan pakar
duniayang memperkirakan pariwisata akan menjadi industri terbesar pada abad
ke-21 ini.
“Tourism climate indices
endeavour to express, in a single index, the complexity of tourists’ climate
preferences and, therefore, the conditions suitable for tourism development”
(Mieczkowski 1985). As such, they are a good example of climate services, being
defined (National Research Council 2001) as “The provision of one or more
climate products or advice in such a way as to assist decision-making by
individuals or organizations”. “Tourism climate indices can use either
observational or modelled data, they apply to all time scales, and they can be
used for planning, investment or daily operations. Given the outlook on climate
change, there is an even greater need for long-term indices applications,
especially to estimate the economic impacts on tourism” (Amelung et al.
2007; ONERC 2009; Amelung and Moreno 2012).[1]
Agaknya akhir-akhir ini, masalah
wisata mengalami perkembangan baru yang tidak saja menjadi fenomena lokal dalam
sebuah negara tertentu, namun justru berubah menjadi fenomena global
sebagaimana kita cermati melalui berbagai media. Fenomena ini sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping karena faktor-faktor
lain yang sedemikian bervariasi dan kompleks. Katakana saja karena faktor
psikologis, manusi selalu cenderung mencintai sesuatu yang bernuansa baru
sehingga apapun yang lama sudah mulai tidak diminati, atau setidaknya kurang menarik
lagi. Katakana saja yang berkaitan dengan masalah wisata, akhir-akhir ini
masyarakat sudah mulai tertarik dengan wisata yang berbasis syariah. Tentu saja
hal ini sejalan dengan tingkat kesadaran religiositas masyarakat yang sudah
mulai tumbuh, tidak saja di negara-negara islam atau mayoritas penduduknya
sebagai muslim, bahkan juga di negara-negara sekuler sekali pun.[2]
Atau dengan kata lain, akhir-akhir
ini, wisata halal sudah semakin banyak diminati, sehingga diprediksi akan
mepunyai prospek yang menjanjikan.[3]
Oleh sebab itu industri pariwisata jenis baru ini perlu digarap secara
profesional agar mempunyai daya saing yang kuat di pentas global yang pada
akhirnya akan semakin memperkuat pemasukan devisa bagi negara masing-masing
yang bersangkutan.[4]
Karena bagaimanapun daya saing merupakan salah satu faktor kunci yang akan
menentukan penyerapan wisatawan untuk berkunjung ke sebuah negara.[5]
Karena itu berkaca fenomena baru
tersebut dalam kaitan dengan mulai dikembangkannya wisata halal, mampukah Indonesia
ke depan mengembangkan destinasi wisata halal dengan banyak mengeksplorasi
kekayaan sumber daya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia
selama ini. Nusa Tenggara Barat misalnya, adalah salah satu contoh kawasan yang
saat ini all out mengembangkan wisata halal internasional (tingkat
dunia). Dan sebagai konsekuensinya mmereka mendapatkan penghargaan sebagai
salah satu destinasi wisata nomor satu di tingkat dunia. Berikutnya menyusul
daerah Sumatra Barat dan Aceh yang terus memprogram dan bebenah untuk menjadi
wisata halal di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, di Indonesia telah
diproyeksikan sebanyak sepuluh destinasi wisata halal baru.[6]
Dilihat dari aspek potensi sebagai
destinasi baru wisata halal, ketiga daerah propinsi tersebut perlu diakui
secara jujur dan objektif. Dari aspek potensi alam, misalnya, ketiganya
mempunyai panorama alam yang sangat indah sehingga layak untuk dijual. Demikian
pula dari aspek religiosita, ketiganya sama-sama dihuni oleh pemeluk Islam yang
taat dan kuat sehingga banyak tema keislaman yang menjadi ikon spesifik yang
menjadi karakter daerah masing-masing sebagai salah satu kunjungan wisata yang
berbasis syariah.[7]
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
relasi hukum Islam (Fiqh) dalam pariwisata halal?
2. Apa
tujuan utama hukum Islam (peranan syariah Islam) terhadap pariwisata halal?
3. Bagaimana
pengaruh hukum Islam dalam perkembangan kepariwisataan?
4. Apa
relasi peraturan perundangan terhadap pariwisata halal?
C. Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui relasi hukum Islam (Fiqh) dalam pariwisata halal
2. Untuk
mengetahui tujuan utama hukum Islam (peranan syariah Islam) terhadap pariwisata
halal
3. Untuk
mengetahui pengaruh hukum Islam dalam perkembangan kepariwisataan
4. Untuk
mengetahui relasi peraturan perundangan terhadap pariwisata halal
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Prespektif
Hukum Islam (Fiqh)
Sebagaimana
kita ketahui, dalam dunia pariwisata akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan
dikembangkan apa yang Namanya wisata halal, sebagai destinasi baru yang
membedakanya dengan wisata konvensional yang sudah lama berkembang selama ini.
Dikatakn berbeda karena destinasi yang pertama bernuansa agama (spiritualitas-regiousitas),
sedangkan yang kedua bernuansa sekularistik-materialistik. Atau dengan kata
lain, yang bertama dengan sentuhan ajaran wahyu (langit), sedangkan yang kedua
bersentuhan dengan hasil pemikiran manusia (bumi-sains).[8]
Pertanyaan mendasar adalah justru
mengapa dalam realitas tidak disebut dengan istilah wisata Islam atau wisata
syariah. Kiranya, dalam dalam hal ini dapat dipahami dari dua kemungkinan.
Pertama, menggunakan istilah “halal” nampaknya lebih umum dan lebih populis
dikalangan masyarakat luas. Sedangkan yang kedua, jika menggunakan istilah
“syariat”, apalagi “Islam”, secara politis sedangkala terseret kedalam konotasi
yang negatif. Terutama oleh kalangan masyarakat Barat yang secara apriori
kurang respek terhadap ajaran agama islam. Akhir-akhir ini, tidak jarang
predikat Islam oleh mereka dikaitkan dengan paham terorisme dan sektarianistik
yang dianggap sebagai sumber ajaran kekerasan di berbagai belahan dunia.
Padahal tidaklah demikian, karena sejatinya ajaran agama Islam adalah merupakan
Rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh kehidupan di dunia ini.[9]
Dengan demikian, mempersepsikan
Islam sebagai sumber malapetaka kekerasan hanyalah biar semata yang seringkali
dijadikan komoditas politik global untuk mendeskriditkan umat Islam di dunia
internasional. Nampaknya steriotip yang demikian itulah yang terus menjadi sumber
kebencian antara dunia Barat yang mayoritas Kristen versus dunia timur yang
mayoritas Islam. Hingga saat ini segala isu yang beraromakan ajaran Islam terus
digoreng oleh komunitas yang tak bersimpati sehingga muncul konflik yang
berkepanjangan di berbagai peta bumi ini.[10]
Sebab itu bagi siapapun yang
memahami Islam secara holistic penggunaan istilah halal, atau syariah,
atau bahkan Islam sekali pun, pada hakikatnya adalah sama. Bukankah istilah
halal itu merupakan salah satu terma dalam ajaran Islam yang seringkali juga
dikorelasikan dengan istilah syariah. Namun demikian penggunaan istilah “halal”
dalam aktivitas wisata mengandung pesan teologis, dalam arti, hendaknya segala
aktivitas wisata yang dibangun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ajaran
yang disyariatkan Islam.[11]
Karena itu Islam melarang segala
bentuk perbuatan yang haram hukumnya, tanpa kecuali dalam dunia pariwisata
karena akan lebih banyak mendatangkan kemadlaratan (bahaya-sisi negative)
dari pada kemaslahatan yang akan diperoleh. Kendati secara realitas, tidaklah
semua muslim menyadari bagaimana efek negatif ini karena praktik wisata yang
sekularistik telah menjadi maindset di alam pikiran masyarakat global.
Sampai akhirnya, menjadi semacam gaya hidup (lifestyle) masyarakat di
berbagai belahan dunia.[12]
Karena itu, pada bagian ini, untuk
selanjtnya, akan dikemukakan berbagai infrastuktur yang seyogianya steril dari
perilaku haram secara syar’i dalam kaitan dengan wisata halal yang sejatinya
bertujuan untuk menciptakan lifestyle yang berbasiskan syariah di
kalangan masyarakat luas. Terutama di kalangan muslim sebagai implementasi dari
ajaran agama yang dianutnya.[13]
1.
Hukum Islam: Gambaran
Umum dan Ketentuan Hukum
Hukum
islam adalah salah satu system hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping
sistem hukum lain, seperti hukum adat, hukum Eropa (produk legislasi kolonial)
dan sistem hukum yang merupakan produk legislasi nasional dalam berbagai bentuk
perundang-undangang dengan segala turunannya yang diberlakukan di kawasan
yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[14]
Tradisi pembentukan hukum Indonesia menunjukkan bahwa bentuk keempat bentuk
dasar itu tidak pernah diabaikan menjadi sumber materiil pada tiap perumusan
konsep hukum baru. Hukum islam pada awalnya mewakili paham tekstual keagamaan
yang hidup dan mengikat masyarakat Islam.[15]
Sistem hukum yang bersumber,
sekaligus yang menjadi bagian dari agama Islam itu berlaku hanya bagi umat
Islam karena secara demografis mereka merupakan populasi yang paling banyak
jumlahnya, dibanding penganut agama lain di Indonesia.[16]
Selanjutnya, dalam sistem hukum Islam, dikenal dua istilah yang biasa
digunakan, yakni Syariat Islam (Islamic Law) dan Fiqih Islam (Islamic
Jurisprudence). Atau dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam digunakan
istilah hukum syariat, sedangkan untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum
fiqih atau hukum (fiqih) Islam.[17]
Namun demikian di dalam praktik,
seringkali, kedua istilah tersebut dirangkum dalam satu istilah hukum Islam
saja. Ini disebabkan karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali,
sekalipun dapat dibedakan, namun tidak mungkin dipisahkan. Syariat merupakan
dasar dari pada fiqih, sedangkan fiqih adalah ilmu untuk memahami syariat.
Keduanya sama-sama mempunyai sumber dalam Al-Qur’an, seperti surat Al-Jaatsiah,
45:18 merupakan sumber dari ajaran syariat, sedangkan surat At-Taubah, 9:122
sumber dari ajaran fiqih.[18]
Sebagaimana ghalibnya, dalam sistem
hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun fiqih mengandung dua ajaran
pokok, yakni tentang ibadah dan muamalah. Ibadah mengkaji tentang bagaimana
hubungan manusia dengan Tuhan secara vertical (habl min Al-Allah) yang
tata caranya telah diatur oleh Allah SWT sendiri melalui Rasul-Nya. Berkaitan
dengan ajaran ibadah ini berlaku asas fiqhiyyah yang menyatakan bahwa
semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan, kecuali ada perintah untuk
melakukannya.[19]
Sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan
demikian jika hal itu dilakukan maka haram hukumnya.
Sebaliknya tentang muamalah yang
membicarakan aktivitas hubungan antara manusia secara horizontal (habl min
al-nas), karena biasanya yang diajarkan terbatas yang pokok-pokok saja,
sehingga bersifat terbuka. Artinya, banyak ruang atau pintu masuk untuk
dilakukan tinjauan ulang sesuai kebutuhan melalui pintu ijtihad atas dasar asas
umum yang berlaku bahwa pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali
ada perintah yang melarangnya.[20]
Inilah sisi perbedaan dengan perbuatan ibadah yang bersifat tertutup.
Di antara contoh mengenai muamalah
itu adalah pengembangan destinasi wisata halal yang saat ini mulai banyak
dikembangkan kendati belum ada ketentuanya secara tegas, baik dalam Al-Qur’an
maupun Sunnah. Dengan demikian jika dikaitkan dengan al-ahkamah al-khamsah,
maka termasuk dalam kategori ja’iz, (mubah-ibahah).[21]
Artinya destinasi wisata halal itu mengandung kebebasan, apakah akan dilakukan
atau tidak, sangatlah tergantung kepada siapa pun yang akan melakukannya. Namun
demikian, sebagai konsekuensi dari predikat halal itu sendiri, bagaimanapun
atmosfer dunia wisata halal tidak selayaknya jika berseberangan dengan
ketentuan syariah Islam. Jika berlawanan, maka kata halal itu sendiri tidak
akan mempunyai makna apa pun.[22]
Di dalam fatwa, khusus mengenai
ketentuan hukum, dipertegas lagi, bahwa jika penyelenggaraan pariwisata yang
sudah jelas berdasarkan prinsip syariah, maka boleh dilakukan dengan syarat
mengikuti beberapa ketentuan yang telah di fatwakan. Artinya, jika sekiranya terjadi
hal yang bertentangan dengan apa yang difatwakan, maka sama halnya dengan
menentang prinsip-prinsip syariah sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya akan
berujung pada larangan (haram) untuk dilakukan.[23]
Karena itu dalam kaitan ini, menurut
Fahad Salim Bahammam, berpergian (berwisata) adalah merupakan sebuah sarana
yang hukumnya berdasarkan tujuannya. Artinya jika tujuannya adalah untuk
kewajiban, maka wajib untuk melakukannya, seperti menunaikan haji bagi yang
belum pernah menunaikan.[24]
2.
Tujuan Utama Hukum Islam
(Peranan Syariah Islam)
Kehadiran sebuah hukum, baik produk
manusia maupun Tuhan (syariat-agama) pasti mempunyai tujuan untuk mengatur
kepentingan manusia, baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain
maupun dengan lingkungannya. Tegasnya, kehadiran hukum adalah untuk menjamin
kepastian hukum yang dapat menjamin keamanan, kenyamanan, ketenangan dalam
hidup bermasyarakat. Namun demikian perlu dipahami bahwasanya ada sisi
perbedaan yang sangat mendasar sekali antara kedua produk itu, di mana hukum
hasil rekayasa manusia hanyalah sebatas mengatur perilaku manusia di dunia
semata. Hukum manusia tidak akan mampu menjangkau dan menjelaskan bagaimanakah
sejatinya hidup setelah mati di alam fana ini.[25]
Sedangkan hukum Tuhan yang dikenal
dengan sebutan syariah, tidak saja menjangkau masalah kehidupan di dunia
semata, namun juga bagaimana sebenarnya kehidupan di akhirat kelak. Islam
mengajarkan ada kelanjutan kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya
sementara ini. Bahkan diajarkan pula, bahwa kebahagiaan hidup akhirat yang
abadi akan sangat ditentukan oleh perilaku setiap diri manusia selama hidup di
dunia. Artinya, secara syar’i, kepatuha
seseorang terhadap ketentuan syariat akan menjadi faktor penentu
keslamatan yang bersangkutan di akhirat kelak. Itulah ajaran Islam kepada umat
manusia secara universal.[26]
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam
adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik jasmani maupun rohani, baik
individu maupun social. Atau, kemaslahatan yang tidak hanya untuk kehidupan di
dunia saja, namun juga untuk kehidupan akhirat kelak.[27]
Dalam kaitan ini, Abu Ishak Al-Shatibi (m.d. 790/1388) telah merumuskan lima
tujuan hukum Islam, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang pada
akhirnya disepakati oleh ilmuwan hukum Islam yang lainnya.[28]
Para ulama salaf dan khalaf tidak
pernah bersilang pendapat, bahwa setiap
hukum syariah pasti memiliki alasan (‘illah) dan juga tujuan (maqashid)
pemberlakuannya. Tujuan dan alasanya adalah untuk membangun dan menjaga
kemaslahatan manusia.[29]
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sebagaimana yang dikutip Jasser Audah, menyatakan bahwa
syariah adalah suatu hikmah dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang
dalam kehidupan di dunia dan akhirat.[30]
Namun demikian perlu dipahami bahwa
kemaslahatan yang diharapkan dalam Islam, tidaklah sebatas untuk individu atau
komunitas tertentu, namun juga untuk seluruh umat manusia secara universal,
kapan pun dan dimana pun saja. Inilah sejatinya yang dimaksud bahwa ajaran
Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin bagi seisi alam kehidupan.[31]
Atau, jika dikaitkan dengan wisata
halal yang perlu mendapat perlindungan adalah para wisatawan agar mereka merasa
aman, nyaman, dan tenang dalam menikmati wisata. Tidaklah sebatas yang beragama
Islam saja, namun apa pun agama, etnis, kebangsaan maupun status sosial mereka
tetap memiliki hak untuk mendapatkan sentuhan rahmat atau perlindungan yang
sama. Sehingga dengan demikian, kemaslahatan yang di cita-citakan dalam syariat
Islam adalah kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.[32]
Ini menunjukan bahwa doktrin
syari’ah merupakan akumulasi dari aspek keadilan, kedamaian, kebijakan, dan
kebaikan.[33]
Apabila elemen dasar-dasar ini tidak hadir dan terakomodir, maka
berkecenderungan kemaslahatan yang diidealkan tidak akan pernah terwujud. Baik
dalam diri seseorang maupun umat manusia secara keseluruhan yang pada akhirnya
yang akan mencederai ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi seluruh alam.[34]
3. Ciri-Ciri
/ Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam, baik dalam pengertian
syariat maupun fiqih secara umum dapat dipetakan ke dalam dua bagian, yakni
tentang ibadah dan muamalah. Bagian yang pertama berkaitan dengan hubungan
manusia (makhluk) dengan Tuhan (Khalik-Pencipta-Great Creater) yang
bersifat vertikal yang dikenal dengan ibadah mahdhah (murni ibadah-pure).
Antara lain tentang shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan
yang kedua, yakni muamalah, berisikan ketentuan-ketentuan syariat yang mengatur
hubungan antarmanusia secara horizontal dalam segala aspek kehidupan, seperti masalah
perkawinan, ekonomi dalam segala bentuk dan macamnya, politik, dan lain
sebagainya. Di antara kedua ranah ini, tentu wisata halal merupakan kawasan
dari kajian muamalah yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masalah
aktivitas keduniawian (profan).[35]
Ciri mendasar yang membedakan hukum
Islam dengan hukum modern adalah tentang sumber yang menjadi dasar ketentuanya.
Hukum Islam sudah pasti bersumber pokok dari ajaran wahyu, bail Al-Qur’an
maupun Sunnah. Sedangkan hukum modern merupakan produk sains (imajinasi/akal
manusia) yang tidak jarang membuka ruang ijtihad (debatable) sejalan
dengan situasi dan kondisi yang sedemikian dinamis sesuai tempat dan perubahan
zaman.[36]
Pada zaman dulu, bisa jadi orang
melakukan wisata makruh hukumnya, karena dianggap kurang manfaatnya. Terlebih
lagi jika destinasi yang dikunjungi banyak praktik perbuatan yang kontra
produksi dengan syariat Islam, maka bukanlah tidak mungkin haram untuk
dikunjungi. Sebab itu untuk mencarikan solusi, sekaligus memberi alternatif
kepada masyarakat agar terhindari dari yang haram akhirnya dikembangkanlah
dertinasi wisata baru yang sesuai dengan prisip syariah.[37]
Untuk itu, paling tidak secara
fikih, menurut hemat penulis, hukum wisata halal adalah mubah, artinya boleh
dilakukan. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa hukum asal
melakukan muamalah apa pun adalah boleh, terkecuali jika ada dalil yang
melarangnya.[38]
Adapun karakteristik hukum Islam
sebagai pembeda dari hukum modern, secara lebih rinci dapat dikemukakan sebagai
berikut,[39]
yakni:
a. Merupakan
bagian dari agama Islam
b. Mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan akhlak
Islam
c. Mempunyai
dua istilah kunci, yakni syariat dan fiqih
d. Meliputi
dua bidang utama, yakni ibadah dan muamalah
e. Strukturnya
berlapis yang meliputi:
·
Nas atau teks Al-Qur’an
·
Sunnah
·
Hasil ijtihad yang
memenuhi syarat
·
Pelaksanaanya dalam
praktik baik berupa keputusan hakim maupun yang berupa amalan-amalan umat Islam
dalam masyarakat (untuk fiqih)
f. Mendahulukan
kewajiban dari pada hak, mengedepankan amalan dari pada pahala
g. Meliputi:
·
Hukum taklifi (al-ahkam
al-khamsah), yakni jaiz, sunah, makruh, wajib dan haram.[40]
·
Hukum wadh’i yang
mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.[41]
Namun demikian, T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, dalam sebuah karyanya Falsafah Hukum Islam, menyempurnakan
ketujuh ciri tersebut menjadi sepuluh, yakni:
h. Berwatak
universal, berlaku abadi untuk umat Islam dimana pun mereka berada, dalam arti
tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau suatu masa tertentu saja.
i. Menghormati
martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta
memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan
j. Pelaksanaannya
dalam praktik dikendalikan oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.[42]
Untuk itu pendapat Ash-Shiddieqy
dikaitkan dengan aktivitas kepariwisataan, hendaknya destinasi wisata halal
yang dibangun harus mengedepankan harga diri (muruah) kemanusiaan, tidak
bersikap diskriminatif dengan alasan yang tidak jelas, memperlakukan wisatawan
bukanlah karena status sosialnya, namun semata karena martabat kemanusiaannya
secara hakiki. Menyediakan infrastruktur yang layak dan aman, kiranya juga
merupakan bagian dari menghargai hak-hak kemanusiaan yang universal. Selalu
melindungi keselamatan dalam bentuk dan sekecil apapun bagi wisatawan agar
mereka merasa aman (safety), nyaman dan tenang dalam menikmati wisata.[43]
4.
Al-Ahkam Al-Khamsah:
Posisi Hukum Wisata Halal
Yang dimaksud dengan al-ahkam
al-khamsah yang dalam Indonesianya dikenal dengan ahkamul khamsah
(hukum taklifi) adalah lima kaidah atau lima kategori penilaian mengenai
benda dan tingkah laku manusia dalam Islam.[44]
Dikatakan taklifi karena kelima hukum inilah yang dibebankan kepada manusia
selaku makhluk hidup yang berakal secara sempurna. Dengan kemampuan akal yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia, pada akhirnya ia memiliki kemampuan
untuk membedakan (tamyiz) mana yang boleh dikerjakan, atau sebaliknya
mana yang wajib ditinggalkan.[45]
Selanjutnya dalam kaitan dengan
dunia pariwisata misalnya, manakah destinasi wisata yang boleh dikunjungi
dengan alasan karena tidak mengandung unsur-unsur yang berseberangan dengan
ketentuan syariah. Atau, sebaliknya justru destinasi wisata yang boleh
dikunjungi karena di dalamnya ada hikmah atau nilai-nilai yang membawa pada
kemaslahatan bagi kehidupan. Apabila dikaji dari prespektif fiqih, maka niscaya
destinasi wisata halal-lah yang boleh dijadikan objek para wisatawan Muslim.[46]
Di dalam sitem hukum Islam, ahkamul
khamsah itu meliputi wajib, sunnah, jaiz (mubah), makruh dan haram.
Sejatinya ahkamul khamsah inilah yang membedakannya dengan produk hukum
manusia yang hanya berkisar pada komitmen hitam dan putih, Hitam dalam arti
dilarang dilakukan, sedangkan putih berarti boleh dilakukan dan bebas dari
sanksi terhadap pelakunya.[47]
5.
Hukum Islam dan
Perkembangan Kepariwisataan
Kehadiran hukum dalam kehidupan
sosial tentu saja merupakan sebuah keniscayaan untuk menjamin kepastian hukum
bagi masyarakat luas. Tanpa adanya hukum yang jelas, niscaya akan terjadi
anomali yang menimbulkan ketidakjelasan dalam kehidupan. Dampaknya, selain
memunculkan kedzaliman yang bisa jadi dilakukan oleh segelintir orang yang
tidak bertanggung jawab, namun disisi lain juga akan menyuburkan rasa ragu atau
was-was di kalangan masyarakat banyak.[48]
Untuk itu, bagaimanapun fungsi hukum
dalam segala bentuk dan turunannya merupakan rambu-rambu dalam beraktivitas,
mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Demikian pula dalam kaitan
dengan aktivitas dunia pariwisata, di mana aktivitas wisata halal merupakan
bagian di dalamnya.[49]
Dalam kehidupan ini masyarakat tanpa
kecuali harus menaati dua macam hukum secara bersamaan. Dalam kapasitasnya
sebagai warga negara, mereka wajib taat terhadap hukum negara di mana mereka
hidup. Demikian pula dalam kapasitasnya sebagai pemeluk sebuah agama, katakana
saja sebagai Muslim, mereka wajib taat terhadap ketentuan-ketentuan syariat
yang berlaku. Pemberlakuan kedua hukum itu, tanpa kecuali, berlaku bagi
pengusaha, para pengusaha, maupun masyarakat pendukung wisata. Karena pada
prinsipnya mereka adalah sama di muka hukum, dalam arti, tidak ada diskriminasi
antara yang satu dengan yang lain.[50]
Perlu dipahami, tidak jarang
perkembangan hukum kalah cepat dengan dinamika sosial kemasyarakatan sehingga
tidak jarang terjadi kevakuman hukum di tengah masyarakat tentang sebuah objek
hukum. Kendati dikatakan bahwa fungsi hukum antara lain adalah sebagai
instrumen untuk merekayasa sosial masyarakat (social engineering),
tetapi di sisi lain hukum juga harus peka terhadap kebutuhan hukum masyarakat.[51]
Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah
apakah hukum (peraturan perundangan) yang berkaitan dengan masalah wisata halal
telah tersedia. Sementara perkembangan industri wisata berdasarkan
prinsip-prinsip syariah saat ini mulai menarik perhatian para wisatawan Muslim
di berbagai kawasan, sehingga perlu dikelola secara sungguh-sungguh dan
professional. Oleh karena itu, dengan mencermati fenomena yang terus berkembang
saat ini, baik di tingkat lokal maupun global, yang menjadikan destinasi halal
tourism sebagai alternatif baru adalah komunitas Muslim untuk berwisata sehingga
perlu digali landasan yuridisnya dalam prespektif Islam.[52]
Sejatinya di tahun 2016 telah lahir
sebuah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomer 108/DSN-MUI/X/2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata berdasarkan prinsip syariah yang menjadi
landasan standarisasi aspek-aspek wisata halal. Namun nampaknya fatwa ini masih
belum final dan masih butuh penyempurnaan sehingga ke depan masih diperlukan
produk ijtihad baru guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.[53]
Tentu saja ijtihad baru tersebut
sejalan dengan perkembangan wisata halal itu sendiri untuk menjamin kepastian
hukum dunia kepariwisataan. Secara bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh,
mencurahkan pikiran, menghabiskan kesanggupan. Sedangkan secara istilah
diartikan dengan mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas suatu masalah
untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak pada Kitab dan Sunnah.[54]
Atau, dengan kata lain, ijtihad adalah merupakan usaha merumuskan garis-garis
atau kaidah-kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam kedua
sumber utama hukum Islam.[55]
Dalam hukum Islam dikenal beberapa
metode untuk melakukan ijtihad, baik yang dilakukan secara individual maupun
kolektif sebagaimana yang dilakukan oleh DSN-MUI. Di antara metode di maksud
adalah Ijma’, qiyas, istidal, al-masalih al-mursalah (maslahat
mursalah), istihsan, istishab, dan ‘urf.[56]
Jika sekiranya kedepan, wisata halal
perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisatawan Muslim agar tidak
hanya mengunjungi wisata konvensional, maka dengan demikian, dasar
pertimbangannya adalah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Untuk itu, metode
ijtihad yang dapat digunakan adalah maslahah mursalah.[57]
Karena itu, dengan adanya wisata
halal, maka diharapkan para wisatawan Muslim, dalam memenuhi kebutuhan rekreasinya,
tidak terjebak kedalam destinasi wisata yang seringkali kontroversi dengan
prinsip-prinsip syariah. Inilah yang dimaksudkan perlu adanya produk hukum baru
dalam dunia kepariwisataan agar kemaslahatan masyarakat bisa terwujud. Karena
bagaimanapun hukum harus memenuhi perkembangan dunia kepariwisataan seperti
wisata halal yang memulai banyak diminati.
B. Peraturan
Perundangan
Indonesia
memiliki sebuah potensi besar untuk menjadi sebuah pusat pariwisata halal di skala
global karena Indonesia memiliki keindahan alam, beragam kebudayaan dan
populasi umat muslim yang terbesar di dunia. Kementerian Pariwisata Republik
Indonesia melakukan usaha-usaha dalam mempromosikan Indonesia sebagai pusat
suatu destinasi pariwisata halal, hal ini layak untuk diapresiasi. Namun dalam
mengembangkan pariwisata halal ini tidak hanya melakukan promosi secara masif
saja untuk mengejar posisi di skala global, tetapi harus juga didukung dengan
sebuah regulasi yang kuat sebagai pedoman untuk melangkah atau mengembangkan.
Dari sisi regulasi ini, pariwisata halal di Indonesia tergolong lemah karena
tidak adanya aturan yang mengaturnya secara spesifik baik dalam bentuk
Undang-Undang maupun pada Peraturan Menteri.
Aktivitas wisata halal sampai saat
ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Undang-Undang
ini mengatur tentang kepariwisataan secara umum, dan tidak mencantumkan
peraturan pariwisata halal. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan tersebut, pariwisata adalah “berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”[58]
Meskipun dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kata pariwisata halal, tetapi
kalau kita cermati pada bagian kata “berbagai macam kegiatan wisata” terdapat
ada identifikasi bahwa diperbolehkan melakukan kegiatan pariwisata halal yang berlandaskan
prinsip-prinsip syariah.
1. Pariwisata
Halal: Prespektif UU RI No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Sebagaimana
kita pahami bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengamanatkan kepada kita bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaanya.[59]
Karena itu untuk menjamin setiap pemeluk agama agar dapat melakukan ibadah dan
menjalankan ajaran agamanya, maka bagaimanapun negara wajib melindungi dan
menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.[60]
Perlu diakui bahwasanya produk yang
beredar selama ini di masyarakat belumlah semua terjamin kehalalannya secara
syar’i.[61]
Di samping pengaturan mengenai kehalalan suatu produk belum terjamin kepastian
hukumnya sehingga perlu diatur dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan
secara nasional.
Itulah dasar pertimbangan yang
menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia, sebagaimana yang tertuang di dalam
klausula menimbang. Oleh karena undang-undang ini bersifat umum, maka tentu
saja berlaku pula untuk industri pariwisata halal yang harus steril dari segala
hal yang haram berdasarkan syari’ah.
Adapun relevansinya undang-undang
tersebut dengan wisata halal, antara lain adalah karena menyentuh berbagai
kebutuhan wisatawan (Muslim) seperti tempat penginapan, restoran, kolam renang,
spa dan faktor pendukung lain sebagainya. Selama di hotel, mereka dijamu
makanan dan minuman sesuai fasilitas yang disediakan yang kesemuanya harus
dijamin kehalalannya.[62]
Demikian pula untuk restoran atau
rumah makan dengan segala macamnya yang dijual kepada wisatawan selaku konsumen
harus jelas pula kehalalannya agar mereka tidak tercederai akidahnya karena
telah menikmati produk yang haram dikonsumsi.[63]
Keharaman produk itu baik yang berkaitan dengan bahan baku maupun proses
pembuatannya.[64]
Sebab itu untuk menjamin kehalalan itu diperlukan kejujuran, keterbukaan dan
niat baik para pelaku usaha, produsen maupun para penjual dalam memproduksi dan
menjual segala macam produk kepada wisatawan yang berkunjung.[65]
2. Pariwisata
Halal: Prespektif UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pembangunan
perekonomian nasional di era globalisasi dewasa ini, bagaimanapun harus dapat mendukung
tumbuhnya dunia usaha agar mampu menghasilkan bermacam-macam barang dan jasa
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.[66]
Namun demikian dengan semakin terbukanya pasar global yang ditandai dengan
semakin ketatnya daya saing, maka diperkuat dengan peraturan perundangan yang
dapat melindungi kepentingan mereka.[67]
Disamping itu juga perlu melindungi kepentingan pelaku usaha agar terjadi
keseimbangan antara kedua belah pihak. Itulah antara lain di antara
pertimbangan filosofis dalam konsideran menimbang perlunya undang-undang
tentang perlindungan ini diciptakan.[68]
Adapun yang dimaksud dengan konsumen
dalam kaitan dengan destinasi wisata halal adalah para wisatawan (turis),
sedangkan pelaku adalah perilaku industri kepariwisataan. Kedua mereka ini
jelas saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Pelaku usaha wisata
butuh pengunjung agar dapat terus meningkatkan omzet industri (korporat) yang
ditekuninya. Sementara wisatawan butuh destinasi rekreasi agar pikiran mereka
menjadi tenang dan refresh yang dapat melahirkan inspirasi dan
inovasi-inovasi baru untuk pengembangan diri yang dapat disumbangkan untuk
kepentingan bangsa dan negara.
Disisi lain dalam perlindungan
konsumen terdapat juga mendapatkan perawatan medis, yang dimana setiap para
wisatawan yang sakit atau kurang sehat bisa mendapatkan perawatan medis,
sehingga dapat membantu para wisatawan dalam mengatasi kendala tersebut dalam
berwisata. From developed countries to developing or emerging countries for
medical treatments. This occurs for a variety of reasons including cost
considerations, shorter waiting periods, and better quality of care, among
others. Hence, the direction of patient traffic has changed from being one
directional to bi-directional. In the past, people in high income groups have
travelled to developed countries to acquire advanced treatments, but
middle-class people in developed countries have now begun to travel to
developing countries to receive high-quality treatment with at a lower cost and
this has become a new concept in the tourism sector (Chen and Flood 2013;
Connell 2011; Horowitz and Rosensweig 2008; Ormond 2011).[69]
Sebagaimana telah disinggung sebelum
ini, bahwa pada hakikatnya destinasi wisata itu ibarat rumah tangga dalam
sebuah keluarga, sedangkan wisatwan adalah tamu mereka yang akan melakukan
silaturrahim. Islam mengajarkan, bagaimanapun tamu itu wajib dihargai,
dihormati, dan dilindungi kepentingannya.
Atau, dengan kata lain, wisatawan
dapat pula dianalogikan (di-qiyas-kan) sebagai pembeli yang perlu
dilayani dengan baik agar mereka mendapat kepuasan karena telah mendapat
perlakuan prima dan mendapatkan apa yang dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
sandaran yuridis dan etis, dalam yuridis dijelaskan pariwisata halal harus
mempunyai landasan hukum yang spesifik sebagai untuk pengembangan ditahap
berikutnya, sedangkan yang dimaksud dengan etis adalah industri pariwisata
halal harus sesuai sengan norma-norma etis atau bisa disebut dengan akhlak
dalam ajaran agama Islam. Kedua sandaran tersebut tidak boleh dihilangkan dalam
melakukan pengembangan industri pariwisata halal.
Landasan
hukum dari industri pariwisata halal adalah landasan berbasis syariah yaitu Al-Qur’an
dan Hadist. Tetapi dalam menyikapi suatu masalah-masalah yang ada dalam dunia
pariwisata halal, perlu juga dibutuhkan ijtihad para ulama’ yang menguasai
bidang hukum fikih.
Perlu
diketahui, bahwa industri pariwisata halal membutuhkan kajian dari maqashid
al-syariah yang dimana telah menerangkan tentang batasan-batasan suatu
wilayah yang mana wajib dilindungi bagi wisatawan. Agama atau keyakinan
merupakan aspek utama yang wajib diiperhatikan, dengan cara memberikan
fasilitas ketersediaanya tempat ibadah di tempat industri pariwisata halal,
agar mereka tetap dapat melakukan shalat di tengah-tengah melakukan suatu
aktivitas pariwisata.
Dari sisi regulasi ini, pariwisata
halal di Indonesia tergolong lemah karena tidak adanya aturan yang mengaturnya
secara spesifik baik dalam bentuk Undang-Undang maupun pada Peraturan Menteri.
B. Saran
Untuk
lebih mengembangkan industri pariwisata halal ini, seharusnya negara Indonesia
membuat Peraturan Perundangan-undangan, yang didalamnya terdapat aturan-aturan
yang spesifik tentang industri pariwisata halal, sehingga dalam sisi
regulasinya kuat.
Perlu dibentuknya sebuah badan
pengawas yang berbasis syariah, yang dimana fungsinya melakukan pengawasan
secara khusus. Seperti halnya dengan MUI yang mengawasi perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul
Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Ali, H. Mohammad
Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
Al-Nadwi, Ali
Ahmad, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Beirut: Dar Al-Qalam, 1420 H
Auda, Jasser, Maqashid
Al-Syari’ah Dalil lil Mubtadiin, Virgina: Al-Ma’had Al-Islamiy li Al-Fikr
Al-Islamiy. 2011
Bakry, H. Nazar, Fiqh
& Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003
Damanik,
Janianton, Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Djakfar, Muhammad,
Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah,
Edisi ketiga, Malang: UIN-Maliki Press, 2016
Djakfar, Muhammad,
Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan Menuju Pengembangan
Akademik dan Industri Halal di Indonesia, Malang: UIN-Maliki Press, 2019
Djazuli, H.A., Kaidah-Kaidah
Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis,
Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007
Dubois, Ghislain,
Jean Paul Ceron, Clotilde Dubois, Maria Dolores Frias and Sixto Herrera, “Reliability
and usability of tourism climate indices”, University of Cantabria,
Santander Meteorological Group, Instituto de Física de Cantabria, IFCA, Avda.
de los Castros, s/n, 39005, Santander, Spain Maria Dolores Frias, Dubois et al.
Earth Perspectives (2016) 3:2 DOI 10.1186/s40322-016-0034-y, 1
Miladiyah, Uyunur
Rochmawati dan Slamet, “Strategi Competitive Advantage Untuk Membangun City
Branding Kota Batu Sebagai Kota Wisata”, dalam Iqtishoduna Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 10, Nomor 2, Tahun 2014, 89-99
Nursyamsi,
Muhammad dan Sapto Andika Candra, “Berlomba Kembangkan Wisata Halal”,
dalam Republika, edisi 16 Agustus 2017
Sam, H.M. Ichwan,
dkk (tim penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta:
Kerja Sama DSN-MUI dengan Ban km Indonesia, 2003
Sunaryo, Bambang, Kebijakan
Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2013
Syarifuddin, H.
Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009
Ucak, Harun, “The
Relationship Between The Growth in The Health Sector and Inbound Health
Tourism: The Case of Turkey”, Department of Economics and Finance, Faculty
of Business, Alanya Alaaddin Keykubat University, Alanya, Antalya, Turkey,
SpringerPlus (2016) 5:1685 DOI 10.1186/s40064-016-3341-8
Yunia, Fauzia Eka
dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif Maqashid
Al-Syariah, Jakarta: PrenadaMedia Group, 2014
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar
Hukum Syariah, Jakarta: Haji Mas Agung, 1987
[1]
Ghislain Dubois, Jean Paul Ceron, Clotilde Dubois, Maria Dolores Frias and
Sixto Herrera, “Reliability and usability of tourism climate indices”,
University of Cantabria, Santander Meteorological Group, Instituto de Física de
Cantabria, IFCA, Avda. de los Castros, s/n, 39005, Santander, Spain Maria
Dolores Frias, Dubois et al. Earth Perspectives (2016) 3:2 DOI
10.1186/s40322-016-0034-y, 1
[2]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 4-5
[3]
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, saat ini mulai serius
menyajikan destinasi wisata halal untuk mengincar wisatawan mancanegara
(wisman) Muslim. Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim
Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta
pada 2015. Jumlah itu diperkirakan bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan
pada 2020 dengan pengeluaran diatas 200 miliar atau Rp.2.600 triliun. Lihat,
Muhammad Nursyamsyi dan sapto Andika Candra, “Berlomba Kembangkan Wisata
Halal,” dalam Republika, edisi 16 Agustus 2017
[4]
Janianton Damanik, Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), 50-58. Lihat pula, Bambang Sunaryo, Kebijakan
Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (Yogyakarta:
Penerbit Gava Media, 2013), 193-197
[5]
Bandingkan dengan Uyunur Rochmawati Miladiyah dan Slamet, “Strategi Competitive
Advantage Untuk Membangun City Branding Kota Batu Sebagai Kota Wisata”,
dalam Iqtishoduna, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 10, Nomor 2,
Tahun 2014, 89-99
[6]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 5
[7] Ibid. 6
[8]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang: Uin-Maliki
Press, 2019), 79
[9] Ibid.
79-80
[10] Ibid.
80
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
80-81
[14] Lihat
dan badingkan dengan Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 16
[15] Ibid.
[16] Dalam
hitungan kasar, di tahun 20017, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai
sekitar 225-260 juta jiwa. Jika sekiranya pemeluk Islam mencapai rentang antara
87-88 % dari total keseluruhan, maka dapat diperkirakan pula bahwa negeri ini
dihuni oleh sekitar 210-220 juta penduduk yang beragama Islam.
[17] H.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 49
[18] Ibid.,
49-50. Dalam kaitan ini, untuk selanjutnya, periksa selengkapnya QS. Al-Jaatsiyah,
45:18 dan QS. At-Taubah, 9:122
[19] Baca,
H.M. Ichwan Sam, dkk (tim.penyunting), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(Jakarta: Kerja sama DSN-MUI dengan bank Indonesia, 2003)
[20] Dalam
kaitan ini baca, H. Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003), dan baca pula Ichwan Sam, Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional
[21] Al-Ahkamah
Al-Khamsah yang dimaksud adalah penggolongan hukum yang lima yang disebut
pula dengan lima kategori hukum yang meliputi ja’iz (mubah-ibahah),
sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam hal ini lihat Masyfuk Zuhdi, Pengantar
Hukum Syariah (Jakarta: Haji Mas Agung, 1987), 5
[22]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 83
[23] Ibid.,
174
[24] Fahad
Salim Bahammam, Panduan Wisatawan Muslim, ter.Ganna Pryadarizal Anaedi
& Syifa Annisa (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), 9
[25]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 83
[26] Ibid.,
84
[27]
Muhammad Daud, Hukum Islam, 61
[28] Ibid.
[29] Fauzia
ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar ekonomi Islam Prespektif
Maqashid Al-Syariah (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), 44
[30] Ibid.
[31]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 84
[32] Ibid.
85
[33] Jesser
Auda, Maqashid Al-Syariah as Philosophy of Law: A Systems Approach,
dalam Ibid., 44
[34]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 85
[35] Ibid.
85-86
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39]
Mohammad Daud, Hukum Islam, 58-59
[40] Dalam
kaitang dengan ahkamul khamsah ini lihat dan bandingkan dengan H. Amir
Syarifuddin dalam sebuah karyanya Ushul Fiqh dalam sebuah topik
bahasannya tentang pembagian hukum syara’. Ia membagi hukum syara’ itu ke dalam
hukum wajib, mandub, haram, karahah, mubah, rukhshah dan ‘azimah. Dengan
demikian disamping hukum yang lima masih ada hukum lagi yakni rukhshah dan
‘azimah. Lihat H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), 336-380
[41] Titah
Allah yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi disebut hukum wadh’i.
Hukum wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia,
namun bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf yang dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk
sebab dan yang diberi sebab, atau syarat yang diberi syarat atau penghalang dan
yang dekenakan halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada tiga
macam, yakni sebab (sebab), syarat, dan mani’. Lihat dalam ibid.,
394
[42] Lihat,
Mohammad Daud, Hukum Islam, 59
[43] Dalam
kaitan ini, dalam kaidah-kaidah fiqih diajarkan, antara lain: “menolak mafsadah
didahulukan dari pada meraih maslahat,” dan “kemudaratan (harus) dihilangkan,”
Lihat, H.A Djazuli, kaidah-kaidah fikih (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007), 11. Dalam sebuah hadist, riwayat Al-Hakim, ditegaskan, “Janganlah
memudaratkan dan jangan dimudaratkan,” Lihat Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qwa’id
Al-Fiqhiyah (Beirut: Daar Al-Qalam, 1420 H), 288
[44]
Mohammad Daud, Hukum Islam, 145
[45]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 88
[46] Ibid.
89
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Lihat,
fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, NO. 108/DSN-MUI/108/2016
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah
[50]
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal: Perspektif Multidimensi, Peta Jalan
Menuju Pengembangan Akademik dan Industri Halal di Indonesia, (Malang:
Uin-Maliki Press, 2019), 89-90
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54]
Mohammad Daud, Hukum Islam, 38
[55] Ibid.,
112
[56] Ibid.,
119-120
[57]
Maslahat Mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Lihat, dan bandingkan
dengan Ibid., 121
[58] Periksa
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
Pasal 1 No. 3
[59] Lihat,
dalam konsideren “Menimbang,” dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 33
Tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
[60] Ibid.
[61] Dalam
mengkonsumsi makanan misalnya, umat Islam (Muslim) harus mengikuti aturan yang
telah ditentukan syariat. Antara lain sebagaimana yang termaktub dalam firman
Allah SWT, Surat Al-Baqarah, 2:168 yang artinya, “Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” Substansi ayat ini adalah merupakan prinsip yang
mendasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun bagi yang beriman kepada
Allah SWT.
[62] Dalam
hal ini periksa, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan
Prinsip Syari’ah
[63] Lihat
kembali dan bandingkan dengan, Ibid.
[64] Dalam
hal ini lihat, Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi
Perundangan Nasional dengan Syariah, edisi revisi (Malang: UIN-Maliki
Press, 2016), 227-229
[65]
Bandingkan dengan Ibid., 421
[66] Lihat,
dalam konsideran “Menimbang,” dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
[67] Ibid.
[68] Ibid.
[69] Harun
Ucak, “The Relationship Between The Growth in The Health Sector and Inbound
Health Tourism: The Case of Turkey”, Department of Economics and Finance,
Faculty of Business, Alanya Alaaddin Keykubat University, Alanya, Antalya,
Turkey, SpringerPlus (2016) 5:1685 DOI 10.1186/s40064-016-3341-8